Kuasa Hukum Novel Khawatir Kasusnya Dipicu Dendam Penyidik Bareskrim ke BW

JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa hukum penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan, M Isnur, menduga kriminalisasi terhadap kliennya merupakan motif balas dendam Kepala Sub Direktorat IV Bareskrim Polri Kombes Daniel Tifaona terhadap Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto. Diketahui, Daniel pernah berhadapan dengan Bambang sekitar tahun 1997 dalam suatu kasus penganiayaan yang menjerat Daniel sebagai tersangka.
"Ada kekhawatiran motif balas dendam pribadi kepada pak BW," ujar Isnur melalui pesan singkat, Jumat (27/2/2015).
Berdasarkan pemberitaan harian Kompas yang dipublikasikan pada tahun 1997, disebutkan bahwa Daniel yang saat itu berpangkat Letnan Satu menjadi tersangka penganiayaan. Daniel terbukti melakukan penganiayaan terhadap saksi bernama Tjejtje Tadjuddin yang kemudian dijadikan tahanan dan meninggal di selnya.
Mantan Kasatserse Polres Bogor itu divonis hukuman 9 bulan 10 hari. Dia dinyatakan terbukti bersalah melanggar pasal 126 KUHP Militer dan pasal 351 (1) KUHP. Sidang Mahmil dipimpin Ketua Majelis, Kol CKH H Pakpahan.
Saat itu, Bambang Widjojanto merupakan Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang melindungi keluarga korban penganiayaan Daniel secara hukum. Pada 25 Juli 1997, Bambang menyatakan bahwa istri Tjetje mengungkapkan sejumlah kejanggalan dan ketidakadilan proses peradilan atas terdakwa Daniel Tifaona.
Sekilas, ada kemiripan kasus penganiayaan yang dilakukan Daniel dengan dugaan kasus penganiayaan yang menjerat Novel. Namun, Isnur menegaskan bahwa motif kedua kasus tersebut berbeda karena penetapan Novel sebagai tersangka dianggap murni kriminalisasi.
"Kalau Pak Daniel kan terbukti dan divonis pengadilan. Jadi berbeda dengan Novel yang dicari-cari kesalahannya dan direkayasa kasusnya," kata Isnur. "Istilah hukumnya malicious investigation.. Penyidikan dengan itikad buruk, dengan niat jahat," lanjut dia.
Daniel ditahan sejak bulan Oktober 1996. Dalam sidang putusan, hakim menyatakan Daniel dianggap tidak melindungi para saksi, termasuk Tjetje sehingga terjadi penganiayaan pada mereka.
Daniel juga dianggap melanggar kewenangan dengan tidak langsung membawa pulang saksi ke markas setelah melakukan prarekonstruksi. Namun pengadilan menganggap tidak terbukti bahwa penganiayaan tersebut yang berakibat langsung pada kematian Tjetje. Ini didukung keterangan para saksi serta saksi ahli dan hasil visum yang menyebutkan, kematian terjadi akibat benturan benda tumpul yang terjadi antara dua hingga 24 jam sebelum kematian.
Sementara itu, kasus yang menjerat Novel sempat mencuat pada 2012 lalu. Kasus ini bermula saat Novel menjadi Kasat Reskrim Polres Kota Bengkulu pada 2004. Dia pernah terjerat kasus penganiayaan terhadap seorang pencuri sarang burung walet. Novel disebut menembak dan menyiksa pencuri itu.
Kasus itu telah diproses oleh aparat setempat. Namun, pada 2012, kasus itu kembali diangkat. Penyidik Bareskrim mendatangi Kantor KPK untuk menangkap Novel. Namun, upaya itu tidak berhasil. Banyak pihak yang menyebut apa yang dilakukan Polri pada 2012 adalah kriminalisasi.
Sebab, saat itu Novel menjadi salah satu penyidik KPK yang mengusut kasus korupsi simulator SIM dengan tersangka Irjen Djoko Susilo. Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, mengeluarkan pernyataan agar KPK dan Polri tak larut dalam kekisruhan. Soal penyelidikan kasus Novel sendiri, SBY meminta agar Polri menghentikannya.
Hingga berita ini diturunkan, Kompas.com masih mencari konfirmasi dari Daniel Tifaona.
Sebelumnya, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Budi Waseso membantah pernyataan yang menyebutkan Polri sedang mengkriminalisasi KPK. Budi mengatakan bahwa Polri hanya bersikap sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Menurut dia, Polri memiliki kewajiban untuk menerima dan menindaklanjuti segala laporan dari masyarakat. (Baca: Bantah Kriminalisasi KPK, Kabareskrim Klaim Jalani Peran Pelindung dan Pengayom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar